Pengawasan Partisipatif Masyarakat dalam Pileg dan Pilpres
|
Kapalo Koto (30/9/2019). 17 April 2019 lalu merupakan hari yang bersejarah bagi Bangsa Indonesia, dimana seluruh Warga Negara Indonesia melakukan Pemilihan Umum (Pemilu) serentak Se-Indonesia. Ini merupakan Pemilih Presiden dan Wakil Presiden serta pemilihan legislatif, yang dilakukan serentak dengan 5 (Lima) pilihan sekaligus. Dalam hal ini pemilihan yang dilakukan Pemilihan Presiden dan wakil Presiden, Pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/ Kota seluruh Indonesia.
Lima pemilihan dengan lima kertas surat suara sekaligus ini merupakan pemilihan pertama yang dilakukan oleh bangsa Indonesia, dimana rakyat akan menentukan dan memilih pemimpin dan wakil-wakilnya yang duduk di legislatif maupun Dewan Perwakilan Daerah untuk 5 (Lima) tahun kedepan. Dalam proses pemilihan tersebut masyarakat sangat berperan penting, karena masyarakat atau rakyat yang akan menentukan pemimpin yang akan memerintah. Oleh sebab itu dalam proses pemilu perlu adanya penyelenggara yang netral, pengawas pemilu yang netral dan partisipasif serta peserta pemilu yang jujur dan tidak berbuat curang. Untuk tercapainya hal tersebut tentunya perlu adanya jiwa yang bersih serta kesadaran akan perlunya pemilihan pemimpin serta jiwa tanggung jawab dalam diri. Meskipun demikian untuk menjadikan diri seperti itu tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Perlu adanya keberanian dan kekuatan untuk menggalakkan dan menerapkan beberapa prinsip tersebut kedalam diri masyarat. Oleh karena itu Bawaslu sebagai badan Pengawas Pemilihan Umum di Indonesia dituntut untuk mensosialisasikan Pengawasan partisipasif tersebut agar terciptanya pemilu yang aman, damai dan berintegritas.
Masyarakat sebagai objek penting bagi calon- calon pemimpin negara untuk melakukan menentukan banayak sedikit jumlah suara yang didapatkan dalam Pemilu tentunya menjadi perhatian penting bagi peserta pemilu. Dimana masyarakat tersebut merupakan titik tolak kemenangan dan keberhasilan pasangan calon dalam pemilu. Oleh karena itu peran masyarakat tersebut sangat penting, oleh karena itu masyarakat tersebut harus dibekali jiwa pengawasan partisipasif. Masyarakat harus jeli dan teliti dalam memilih sebab yang akan menjadi pemimpin tersebut akan menampung aspirasi rakyat. Pengawasan Partisipasif ini diharapkan hadir pada diri masyarakat. Apabila rasa pengawasan partisipasif tersebut telah muncul pada diri kita secara otomatis tidak akan ada lagi ditemukan yang namanya pelanggaran. Pengawasan partisipasif ini merupakan platform dan mission dari Bawaslu Republik Indonesia agar Bawaslu dan jajarannya mensosialisasikan dan menerapkan kepada masyarakat akan pentingnya pengawasan partisipasif. Kesadaran diri pada masyarakat tersebut akan mendorong tingkat keaktifan pengawasan dan mengurangi tingkat kecurangan dalam pemilu, selain itu tingkat pemilihanpun akan meningkat sehingga tidak terdapat golongan putih (Golput) dan sebagainya.
Penggalakan Pengawasan Partisipasif ini sangatlah penting dalam masyarakat, agar masyarakat dapat menentukan pilihannya sesuai dengan keinginannya. Oleh karena itu Bawaslu dan jajaranya melakukan sosialisasi dengan masyarakat baik itu masyarakat kalangan atas, menengah maupun masyarakat bawah. Hal ini dilakukan tidaklah dengan memandang status kaya miskinnya masyarakat namun dipandang dengan sudah patut atau tidak masyarakat tersebut memilih. Jika usia masyarakat tersebut telah sesuai dengan kriteria pemilih maka perlu di adakan sosialisasi pengawasan partisipasif kepada masyarakat tersebut, agar masyarakat tersebut menyadari bahwasanya pentingnya pemilu yang aman dan damai serta tanpa adanya kecurangan. Selain menerapkan Pengawasan partisipan kepada masyarakat, penerapan tersebut juga perlu di terapkan kepada penyelenggara pemilu agar tidak terjadi kesalahan kesalahan yang mengakibatkan rugi atau beruntungnya salah satu pihak dalam pemilu.
Peningkatan kesadaran pengawasan partisipan ini sangat penting diterapkan Baik itu diperdesaan maupun dikota, jika diperdesaan yang akan merusak jalannya pemilu adalah para pemuda dan perangkat daerah serta tokoh masyarakat, oleh karena itu pengawasan partisipasif mesti diterapkan oleh para tokoh tersebut, sehingga pemuda tidak merusak jalannya pemilu dan para tokoh masyarakat tidak menghasut serta mengajak warganya memilih pilihannya, selain itu pengawasan partisipan ini juga sangat perlu diterapkan pada masyarakat yang fanatik dengan suku-suku disebabkan diberbagai daerah Indonesia masih kental dengan adat istiadat yang ada, dimana masyarakat tersebut akan mengikuti semua perintah kepala sukunya atau pemuka adat. Oleh karena itu perlu penerapan sikap pengawasan partisipasif, sehingga semua warga berperan serta dalam pengawasan dalam setiap daerah sehingga terwujudnya partisipasi masyarakat, sehingga tidak ada lagi masyarakat yang menjatuhkan dan mengajak warga lain melakukan pelanggaran pemilu, sehingga terciptanya pemilu yang adil, damai, berintegritas, serta prinsip prinsip pemilupun terlaksana dengan baik.
Kesadaran partisipatif ini sangat penting demi tegaknya demokrasi dan keadilan, namun pada kenyataannya kesadaran partisipasi ini belum banyak diterapkan oleh masyarakat sehingga masih banyak kecurangan. Apalagi pada 17 April 2019 yang merupakan pemilu serentak pertama yang langsung memilih dengan lima kertas surat suara sekaligus, dengan jumlah Daftar pemilih Tetap (DPT) ratusan ribu sementara pengawas jumlahnya sedikit tentunya terjadi ketidak efektifnya pengawasan oleh Pengawas Pemilu. oleh karena itu perlu pengawasan partisipasif yang dilakukan oleh masyarakat. Selain membantu kinerja pengawas pemilu juga dapat meningkatkan kesadaran akan perlunya kenetralitasan dalam pemilu. Selain itu pemilu 17 April 2019 ini baru pertama kali dilakukan dan dengan metode pemilihanpun sudah berbeda, yang biasanya dapat memilih menggunakan KTP sekarang tidak adapat dilakukan, hal ini dilakukan agar tidak adanya peledakan pemilih pada TPS tertentu, oleh karena itu KPU mensiasati dengan harus adanya surat keterangan pindah memilih dengan model A5 dari TPS yang bersangkutan.
Selain banyaknya DPT juga banyaknya Daftar Calon Tetap (DCT) membuat masyarakat linglung dalam penentukan lokasi TPS tempat memilihnya , hal ini yang membuat banyaknya kecurangan dan pelanggaran yang terjadi di TPS sebab banyaknya DCT akan meningkatkan kemungkinan untuk berbuat kecurangan yng dilakukan oleh calon peserta Pemilu tersebut, sebab untuk menjadi terpilih harus membutuhkan banyak suara, dengan demikian ia dapat melakukan berbagai kecurangan agar masyarakat bersedia memilihya. Dalam keadaan seperti ini sangat perlu adanya pengawasan partisipasif oleh masyarakat agar tidak terjadi kecurangan.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, Kamis, 11 April 2019|20:09 WIB Jakarta, dalam Beritasatu.com, (https://www.beritasatu.com/politik/548167/pengamat-pemilu-2019-ujian-terberat-bagi-penyelenggara,) mengatakan pelaksanaan Pemilu 2019 adalah ujian terberat bagi netralitas penyelenggara pemilu di Indonesia karena penyelenggaraan pemilihan presiden berbarengan dengan pemilihan legislatif dan pemilih yang terpolarisasi. "Tantangan Pemilu 2019 salah satu ujian paling berat bagi netralitas penyelenggara pemilu di Indonesia," kata Titi dalam diskusi publik bertajuk 'Netralitas Penyelenggara untuk Pemilu berkualitas' yang selenggarkan oleh Komunitas Pemuda Jaga pemilu.com di Cikini, Jakarta, Kamis (11/4/2019). Titi mengatakan KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu berada dalam situasi polarisasi tarik menarik yang sangat kuat, sehingga apabila terjadi sedikit kesalahan, kelemahan dari penyelengaraan akan memunculkan sebuah ketidakpercayaan besar terhadap penyelenggara pemilu. Selain itu, Pemilu 2019 juga menjadi tantangan berat bagi partai politik pascareformasi 1999. Parpol harus lolos "Parliamentary Treshold" empat persen. Jumlah partai jadi bertambah banyak yakni 20 partai politik plus Aceh, dengan jumlah caleg 250 ribu orang. "Pemberlakuan ambang batas yang paling tinggi dalam sejarah pemilu Indonesia, Pemilu 2019 ini menjadi pertaruhan bagi parpol di Indonesia," kata Titi. Menurut Titi, situasi tersebut menjadi pertaruhan eksistensi bagi partai politik yang membuka ruang semakin besar untuk tergoda melakukan kecurangan dan ruang menggoda penyelenggara. Ia juga mengatakan Pileg 2019 menjadi pemilu yang secara kompetisi paling berdarah-darah bagi partai politik. "Situasi ini yang saya kira menjadi 'warning' bagi kita semua," ujar Titi. Terkait konteks netralitas penyelenggara untuk mewujudkan pemilu berkualitas, lanjut Titi, masyarakat perlu membangun kepercayaan kepada penyelenggara pemilu tetapi tidak mengurangi derajat kontrolnya.selain itu Direktur Lokataru Indonesia Haris Azhar mengatakan terjadi keaktifan di masyarakat dalam melapor pelanggaran penyelenggara pemilu didukung teknologi informasi, sehingga laporan tersebut menjadi keresahan publik. Ia juga menilai pengawasan pemilu yang dilakukan Bawaslu di tingkat nasional dan daerah belum profesional. Dengan demikian sangat penting adanya jiwa pengawasan partisipan pada setiap masyarakat. Selain itu masyarakat juga harus jeli dan melihat dan mengolah informasi yang di dapat, sehingga mudah percaya. Oleh karena itu masyarakat harus jeli dalam melihat informasi serta mencari tahu kebenaran informasi tersebut. Jika dilihat dari sudut pandang ada dan tidak ada, tentulah berita hoax tersebut ada karena ia merupakan bumbu dari perhelatan akbar sesuai dengan pernyataan Kristian erdianto (https://nasional.kompas.com/read/2019/04/09/21311311/pengamat-pemilu-2019-tak-lepas-dari-politik-identitas-dan-hoaks) Oleh karena itu, sedikit banyaknya sangat perlu sosialisasi ditingkat masyarakat, sebab masyarakat yang akan berperan aktif dalam melakukan fungsi kontrolnya dalam pemilu. Meski demikian sosialisasi ditingkat generasi milenia juga tak kalah penting, dimana mereka baru saja terjun ke dunia politik, ia akan berperan serta dalam menentukan nasib negera 5 tahun ke depan serta merupakan pemilih baru yang memiliki pengetahuan minim yang tentu saja butuh banyak bimbingan dalam mengikuti proses pemilu. Selain itu dikarenakan penerus dari bangsa adalah pemilih melenial tentunya ia harus dididik menjadi insan yang cerdas dan punya rasa peduli, oleh karena itu ia harus cerdas dalam memilih pemimpin, cerdas dalam melihat serta menyaring berita berita hoax serta cerdas untuk dirinya sendiri sehingga para melenial harus dibekali berbagai pengetahuan kepemiluan dan menerapkan dalam dirinya akan pentingnya memilih pemimpin dan menumbuhkan kesadaran akan perlunya pengawasan partisipasif demi terwujudnya pemilu damai.Ini dapat dijadikan resume apabila pemilih melenial tersebut telah menerapkan prinsip pengawasan partisipasif dengan sendirinya pemilu akan berjalan lancar dan aman dan tingkat kedasaran masyarakat dalam memilih meningkat.
Sebagai negara yang berkembang dengan jumlah masyarakat yang semakin tumbuh dan mengakibatkan dari tahun ketahun,maka jumlah DPT akan semakin bertambah, hal ini perlu menjadi dasar oleh penyelenggara dan pengawas agar menerapkan Jiwa Partisipasif sehingga minat dan niat untuk memilih bagi masyarakat akan semakin meningkat serta keinginan untuk mewujudkan pemilu yang aman, damai dan berintegritas tersebut telaksana dengan baik. Kemudian perlu adanya sosialisasi pengawasan partisipasif ke daerah daerah pedalaman sehingga tidak ada satupun warga indonesia yang tidak memilih. Selain itu pengawas pemilu tidaktebang pilih dalam melakukan sosialisasi pengawasan partisipasif, hendaknya pengawas pemilu tidak hanya melibatkan perangkat Nagari, Partai Politik dan pimpinan–pimpinan adat tetapi juga mengikutsertakan pemuda-pemudi dalam melaksanakan sosialisasi pengawasan paertisipasif agar jiwa pengawasan partisipasif tersebut muncul dalam diri mereka sehingga pemuda-pemuda tersebut tidak merusak jalanya pemilu sebagai jalan pintas sebagai pekerjaan sementara dalam masa pesta demokrasi. (ditulis oleh Rahmi Restina Dewi Staf PHL Bawaslu Padang Pariaman)